Dalam
kitab Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah karya Hadratusy Syeikh Hasyim
Asy’ari, istilah "bid’ah" ini disandingkan dengan istilah "sunnah".
Seperti dikutip Hadratusy Syeikh, menurut Syaikh Zaruq dalam kitab
‘Uddatul Murid, kata bid’ah secara syara’ adalah munculnya perkara baru
dalam agama yang kemudian mirip dengan bagian ajaran agama itu, padahal
bukan bagian darinya, baik formal maupun hakekatnya. Hal ini sesuai
dengan hadits Rasulullah SAW,” Barangsiapa memunculkan perkara baru
dalam urusan kami (agama) yang tidak merupakan bagian dari agama itu,
maka perkara tersebut tertolak”. Nabi juga bersabda,”Setiap perkara
baru adalah bid’ah”.
Menurut
para ulama’, kedua hadits ini tidak berarti bahwa semua perkara yang
baru dalam urusan agama tergolong bidah, karena mungkin saja ada
perkara baru dalam urusan agama, namun masih sesuai dengan ruh syari’ah
atau salah satu cabangnya (furu’).
Bid’ah dalam arti lainnya adalah sesuatu yang baru yang tidak ada sebelumnya, sebagaimana firman Allah S.W.T.:
بَدِيْعُ السَّموتِ وَاْلاَرْضِ
“Allah yang menciptakan langit dan bumi”. (Al-Baqarah 2: 117).
Adapun
bid’ah dalam hukum Islam ialah segala sesuatu yang diada-adakan oleh
ulama’ yang tidak ada pada zaman Nabi SAW. Timbul suatu pertanyaan,
Apakah segala sesuatu yang diada-adakan oleh ulama’ yang tidak ada pada
zaman Nabi SAW. pasti jeleknya? Jawaban yang benar, belum tentu! Ada
dua kemungkinan; mungkin jelek dan mungkin baik. Kapan bid’ah itu baik
dan kapan bid’ah itu jelek? Menurut Imam Syafi’i, sebagai berikut;
اَلْبِدْعَةُ ِبدْعَتَانِ : مَحْمُوْدَةٌ وَمَذْمُوْمَةٌ, فَمَاوَافَقَ السُّنَّةَ مَحْمُوْدَةٌ وَمَاخَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمَةٌ
“Bid’ah
ada dua, bid’ah terpuji dan bid’ah tercela, bid’ah yang sesuai dengan
sunnah itulah yang terpuji dan bid’ah yang bertentangan dengan sunnah
itulah yang tercela”.
Sayyidina
Umar Ibnul Khattab, setelah mengadakan shalat Tarawih berjama’ah dengan
dua puluh raka’at yang diimami oleh sahabat Ubai bin Ka’ab beliau
berkata :
نِعْمَتِ اْلبِدْعَةُ هذِهِ
“Sebagus bid’ah itu ialah ini”.
Bolehkah
kita mengadakan Bid’ah? Untuk menjawab pertanyaan ini, marilah kita
kembali kepada hadits Nabi SAW. yang menjelaskan adanya Bid’ah hasanah
dan bid’ah sayyiah.
مَنْ
سَنَّ فِى اْلاِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ
عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ اَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ
سَنَّ فِى اْلاِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِئَةً فَعَلَيْهِ وِزْرُهَاوَوِزْرُ
مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِاَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْئًا.
القائى, ج: 5ص: 76.
“Barang
siapa yang mengada-adakan satu cara yang baik dalam Islam maka ia akan
mendapatkan pahala orang yang turut mengerjakannya dengan tidak
mengurangi dari pahala mereka sedikit pun, dan barang siapa yang
mengada-adakan suatu cara yang jelek maka ia akan mendapat dosa dan
dosa-dosa orang yang ikut mengerjakan dengan tidak mengurangi dosa-dosa
mereka sedikit pun”.
Apakah yang dimaksud dengan segala bid’ah itu sesat dan segala kesesatan itu masuk neraka?
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةٍ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ
“Semua bid’ah itu sesat dan semua kesesatan itu di neraka”.
Mari
kita pahami menurut Ilmu Balaghah. Setiap benda pasti mempunyai sifat,
tidak mungkin ada benda yang tidak bersifat, sifat itu bisa
bertentangan seperti baik dan buruk, panjang dan pendek, gemuk dan
kurus. Mustahil ada benda dalam satu waktu dan satu tempat mempunyai
dua sifat yang bertentangan, kalau dikatakan benda itu baik mustahil
pada waktu dan tempat yang sama dikatakan jelek; kalau dikatakan si A
berdiri mustahil pada waktu dan tempat yang sama dikatakan duduk.
Mari kita kembali kepada hadits.
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةٍ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ
“Semua bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan itu masuk neraka”.
Bid’ah
itu kata benda, tentu mempunyai sifat, tidak mungkin ia tidak mempunyai
sifat, mungkin saja ia bersifat baik atau mungkin bersifat jelek. Sifat
tersebut tidak ditulis dan tidak disebutkan dalam hadits di atas; dalam
Ilmu Balaghah dikatakan,
حدف الصفة على الموصوف
“membuang
sifat dari benda yang bersifat”. Seandainya kita tulis sifat bid’ah
maka terjadi dua kemungkinan: Kemungkinan pertama :
كُلُّ بِدْعَةٍ حَسَنَةٍ ضَلاَ لَةٌ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ
“Semua bid’ah yang baik sesat, dan semua yang sesat masuk neraka”.
Hal
ini tidak mungkin, bagaimana sifat baik dan sesat berkumpul dalam satu
benda dan dalam waktu dan tempat yang sama, hal itu tentu mustahil.
Maka yang bisa dipastikan kemungkinan yang kedua :
كُلُّ بِدْعَةٍ سَيِئَةٍ ضَلاَ لَةٍ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّاِر
“Semua bid’ah yang jelek itu sesat, dan semua kesesatan itu masuk neraka”.
Jelek
dan sesat paralel tidak bertentangan, hal ini terjadi pula dalam
Al-Qur’an, Allah SWT telah membuang sifat kapal dalam firman-Nya :
وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِيْنَةٍ غَصْبَا (الكهف: 79)
“Di belakang mereka ada raja yang akan merampas semua kapal dengan paksa”. (Al-Kahfi : 79).
Dalam
ayat tersebut Allah SWT tidak menyebutkan kapal baik apakah kapal
jelek; karena yang jelek tidak akan diambil oleh raja. Maka lafadh كل سفينة sama dengan كل بد عة tidak disebutkan sifatnya, walaupun pasti punya sifat, ialah kapal yang baik كل سفينة حسنة .
Selain
itu, ada pendapat lain tentang bid’ah dari Syaikh Zaruq, seperti
dikutip Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari. Menurutnya, ada tiga norma
untuk menentukan, apakah perkara baru dalam urusan agama itu disebut
bid’ah atau tidak: Pertama, jika perkara baru itu didukung oleh
sebagian besar syari’at dan sumbernya, maka perkara tersebut bukan
merupakan bid’ah, akan tetapi jika tidak didukung sama sekali dari
segala sudut, maka perkara tersebut batil dan sesat.
Kedua,
diukur dengan kaidah-kaidah yang digunakan para imam dan generasi salaf
yang telah mempraktikkan ajaran sunnah. Jika perkara baru tersebut
bertentangan dengan perbuatan para ulama, maka dikategorikan sebagai
bid’ah. Jika para ulama masih berselisih pendapat mengenai mana yang
dianggap ajaran ushul (inti) dan mana yang furu’ (cabang), maka harus
dikembalikan pada ajaran ushul dan dalil yang mendukungnya.
Ketiga,
setiap perbuatan ditakar dengan timbangan hukum. Adapun rincian hukum
dalam syara’ ada enam, yakni wajib, sunah, haram, makruh, khilaful
aula, dan mubah. Setiap hal yang termasuk dalam salah satu hukum itu,
berarti bias diidentifikasi dengan status hukum tersebut. Tetapi, jika
tidak demikian, maka hal itu bisa dianggap bid’ah.
Syeikh
Zaruq membagi bid’ah dalam tiga macam; pertama, bid’ah Sharihah (yang
jelas dan terang). Yaitu bid’ah yang dipastikan tidak memiliki dasar
syar’i, seperti wajib, sunnah, makruh atau yang lainnya. Menjalankan
bid’ah ini berarti mematikan tradisi dan menghancurkan kebenaran. Jenis
bid’ah ini merupakan bid’ah paling jelek. Meski bid’ah ini memiliki
seribu sandaran dari hukum-hukum asal ataupun furu’, tetapi tetap tidak
ada pengaruhnya. Kedua, bid’ah idlafiyah (relasional), yakni bid’ah
yang disandarkan pada suatu praktik tertentu. Seandainya-pun, praktik
itu telah terbebas dari unsur bid’ah tersebut, maka tidak boleh
memperdebatkan apakah praktik tersebut digolongkan sebagai sunnah atau
bukan bid’ah.
Keempat,
bid’ah khilafi (bid’ah yang diperselisihkan), yaitu bid’ah yang
memiliki dua sandaran utama yang sama-sama kuat argumentasinya.
Maksudnya, dari satu sandaran utama tersebut, bagi yang cenderung
mengatakan itu termasuk sunnah, maka bukan bid’ah. Tetapi, bagi yang
melihat dengan sandaran utama itu termasuk bid’ah, maka berarti tidak
termasuk sunnah, seperti soal dzikir berjama’ah atau soal administrasi.
Hukum
bid’ah menurut Ibnu Abd Salam, seperti dinukil Hadratusy Syeikh dalam
kitab Risalah Ahlussunnah Waljama’ah, ada lima macam: pertama, bid’ah
yang hukumnya wajib, yakni melaksanakan sesuatu yang tidak pernah
dipraktekkan Rasulullah SAW, misalnya mempelajari ilmu Nahwu atau
mengkaji kata-kata asing (garib) yang bisa membantu pada pemahaman
syari’ah. Kedua, bid’ah yang hukumnya haram, seperti aliran Qadariyah,
Jabariyyah dan Mujassimah. Ketiga, bid’ah yang hukumnya sunnah, seperti
membangun pemondokan, madrasah (sekolah), dan semua hal baik yang tidak
pernah ada pada periode awal. Keempat, bid’ah yang hukumnya makruh,
seperti menghiasi masjid secara berlebihan atau menyobek-nyobek mushaf.
Kelima, bid’ah yang hukumnya mubah, seperti berjabat tangan seusai
shalat Shubuh maupun Ashar, menggunakan tempat makan dan minum yang
berukuran lebar, menggunakan ukuran baju yang longgar, dan hal yang
serupa.
Dengan
penjelasan bid’ah seperti di atas, Hadratusy Syeikh kemudian
menyatakan, bahwa memakai tasbih, melafazhkan niat shalat, tahlilan
untuk mayyit dengan syarat tidak ada sesuatu yang menghalanginya,
ziarah kubur, dan semacamnya, itu semua bukanlah bid’ah yang sesat.
Adapun praktek-praktek, seperti pungutan di pasar-pasar malam, main
dadu dan lain-lainnya merupakan bid’ah yang tidak baik.
Praktik Bid'ah Hasanah para Sahabat Setelah Rasulullah Wafat
Para
sahabat sering melakukan perbuatan yang bisa digolongkan ke dalam
bid'ah hasanah atau perbuatan baru yang terpuji yang sesuai dengan
cakupan sabda Rasulullah SAW:
مَنْ
سَنَّ فِى اْلاِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ
عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ اَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا
Siapa
yang memberikan contoh perbuatan baik dalam Islam maka ia akan
mendapatkan pahala orang yang turut mengerjakannya dengan tidak
mengurangi dari pahala mereka sedikit pun. (HR Muslim)
Karena itu, apa yang dilakukan para sahabat memiliki landasan hukum dalam syariat. Di antara bid'ah terpuji itu adalah:
a.
Apa yang dilakukan oleh Sayyidina Umar ibn Khattab ketika mengumpulkan
semua umat Islam untuk mendirikan shalat tarawih berjamaah. Tatkala
Sayyidina Umar melihat orang-orang itu berkumpul untuk shalat tarawih
berjamaah, dia berkata: "Sebaik-baik bid'ah adalah ini".
Ibn Rajar al- Asqalani dalam Fathul Bari ketika menjelaskan pernyataan Sayyidina Umar ibn Khattab "Sebaik-baik bid'ah adalah ini" mengatakan:
"Pada
mulanya, bid'ah dipahami sebagai perbuatan yang tidak memiliki contoh
sebelumnya. Dalam pengertian syar'i, bid'ah adalah lawan kata dari
sunnah. Oleh karena itu, bid'ah itu tercela. Padahal sebenarnya, jika
bid'ah itu sesuai dengan syariat maka ia menjadi bid'ah yang terpuji.
Sebaliknya, jika bidطah itu
bertentangan dengan syariat, maka ia tercela. Sedangkan jika tidak
termasuk ke dalam itu semua, maka hukumnya adalah mubah: boleh-boleh
saja dikerjakan. Singkat kata, hukum bid'ah terbagi sesuai dengan lima hukum yang terdapat dalam Islam".
b.
Pembukuan Al-Qur'an pada masa Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq atas usul
Sayyidina Umar ibn Khattab yang kisahnya sangat terkenal.
Dengan
demikian, pendapat orang yang mengatakan bahwa segala perbuatan yang
tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah adalah haram merupakan pendapat
yang keliru. Karena di antara perbuatan-perbuatan tersebut ada yang
jelek secara syariat dan dihukumi sebagai perbuatan yang diharamkan
atau dibenci (makruh).
c.
Sayyidina Utsman ibn Affan menambah adzan untuk hari Jumat menjadi dua
kali. Imam Bukhari meriwatkan kisah tersebut dalam kitab Shahih-nya
bahwa penambahan adzan tersebut karena umat Islam semakin banyak.
Selain itu, Sayyidina Utsman juga memerintahkan untuk mengumandangkan
iqamat di atas az-Zawra', yaitu sebuah bangunan yang berada di pasar
Madinah.
Jika
demikian, apakah bisa dibenarkan kita mengatakan bahwa Sayyidina Utsman
ibn Affan yang melakukan hal tersebut atas persetujuan seluruh sahabat
sebagai orang yang berbuat bid'ah dan sesat? Apakah para sahabat yang
menyetujuinya juga dianggap pelaku bid'ah dan sesat?
Di
antara contoh bid'ah terpuji adalah mendirikan shalat tahajud berjamaah
pada setiap malam selama bulan Ramadhan di Mekkah dan Madinah,
mengkhatamkan Al-Qur'an dalam shalat tarawih dan lain-lain. Semua
perbuatan itu bisa dianalogikan dengan peringatan maulid Nabi Muhammad
SAW dengan syarat semua perbuatan itu tidak diboncengi
perbuatan-perbuatan yang diharamkan atau pun dilarang oleh agama.
Sebaliknya, perbuatan itu harus mengandung perkara-perkara baik seperti
mengingat Allah dan hal-hal mubah.
Jika
kita menerima pendapat orang-orang yang menganggap semua bid'ah adalah
sesat, seharusnya kita juga konsekuen dengan tidak menerima pembukuan
Al-Qur'an dalam satu mushaf, tidak melaksanakan shalat tarawih
berjamaah dan mengharamkan adzan dua kali pada hari Jumat serta
menganggap semua sahabat tersebut sebagai orang-orang yang berbuat
bid'ah dan sesat.
(seperti
ditulis oleh KH. AN. Nuril Huda Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama
(LDNU) dalam "Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja) Menjawab", dan oleh
Dr.Oemar Abdallah Kemel Ulama Mesir kelahiran Makkah al-Mukarromah Dari
karyanya "Kalimatun Hadi’ah fil Bid’ah" yang diterjemahkan oleh PP
Lakpesdam NU dengan "Kenapa Takut Bid’ah?")
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
welcome to scout smk al-azhar
jangan lupa berkunjung kembali