Beberapa
hari yang lalu, saya duduk satu majlis dengan kiyai Kholil Khozin,
mantan khadam kiyai Zubair, Sarang yang sekarang mengasuh Pondok
Pesantren Darul Muttaqin, Jombang, dalam sebuah acara tasyakuran haji
seorang teman.
Ada
sedikit cerita darinya; kebiasaan kiyai Zubair setiap harinya adalah
ngantor di mushalla mulai subuh hingga jam 12 malam. Beliau tidak pernah
keluar dari musholla, dan yang dikerjakannya adalah mulang ngaji
beberapa kitab. Makannya dikirim oleh Bu Nyai dari rumah.
Sekali
waktu pada jam tiga sore Mbah Zubair menyempatkan diri menengok sawah
tadah hujannya. Bisa dibayangkan, betapa waktunya sangat tercurah untuk
ilmu dan ibadah vertikal dengan Sang Khaliq.
Saya melihat fenomena gunung es dari sejarah kiyai utun yang
jarang tersentuh oleh media. Kiyai Fattah sendiri tidak akan sedikit
muncul ke permukaan, jika saja Gus Dur tidak menyebut-nyebutnya dalam
tamsil kearifan pendidiknya.
Karena,
mereka konsisten dengan pola hidup yang sangat terbatas dan berfokus di
dunia ilmu pengetahuan. Disela-sela waktunya diisi dengan acara mencari
penghasilan, dan kegiatan bermasyarakat dengan porsi yang sangat
terbatas. Karenanya, sepak terjangnya jarang menjadi berita.
Dan
ini menjadi pintu masuk untuk mempelajari keramat dari beristiqomah.
Menurut salah seorang idola saya, “Jaman sekarang orang lebih suka
dikenal sebagai orang yang mempunyai keramat daripada dikenal sebagai
orang yang istiqamah. Padahal Istiqomah itu keutamaannya lebih dari
seribu keramat (al-hadits).”
Dari
berbagai sumber yang kami gali, tidak ada seorang pun yang mengatakan
bahwa kiyai Fattah itu hafal Al Qur’an.Karena beliau tidak pernah secara
khusus menghafalkannya. Tapi, dalam wawancara saya dengan kiyai Nur
Cholish Kholili Baqir, Probolonggo - pada akhir bulan September kemarin-
tergambar jelas bahwa bagi beliau Al Qur’an adalah santapan setiap
harinya. Sepertinya ayat-ayat Al Qur’an ada diluar kepala.
Pada setiap ngaji kilatan di bulan Ramadlan, kiyai Fattah pasti mengkhatamkan Al Qur’an bil makna(Pembacaan Al Qur’an plus makna gandul) pada hari ke 14 dengan rata-rata waktu pengajian selama 1 jam setiap harinnya.
Pada
suatu hari, seorang bernama Da’im (beralamat di desa Blimbing,
kecamatan Ngoro, Jombang) utusan dari “Percetakan Kitab Salim Nabhan,”
Surabaya membawa satu bendel naskah Al Qur’an untuk dimintakan koreksi
kepada beliau. Beliau butuh menyelesaikannya dalam waktu satu jam.
Pernah suatu kali beliau khatal Al Qur’an dalam waktu 2 jam secara tartil. Seperti tidak masuk akal. Padahal jarum jam tidak berhenti berputar. Dan sejak melakukan penelitian tentang jejak beliau, hati saya barutuma’ninah;
bahwa tentang kisah Imam Nawawi yang bisa khatam Al Qur’an antara waktu
maghrib sampai isya adalah benar adanya. Bukan legenda belaka.
Kesimpulan saya, inilah yang dinamakan barokahnya waktu. Ada satu dua orang kekasihNya yang mendapat karunia itu.
Tapi
bagi saya, istiqomah itu mudah diucapan, masih sulit untuk didapatkan.
Apalagi Mbak Istiqomah, ia sudah dikawin oleh Cak Slamet. Ijab kabulnya
sudah dilaksanakan.
ditulis oleh : Mahrus Husain
sumber : kilk disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
welcome to scout smk al-azhar
jangan lupa berkunjung kembali